Jumat, 31 Maret 2017

Membangun Desa Secara Inklusif

Permasalahan perdesaan lambat laun kian kompleks dan berlapis-lapis. Kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan, sempitnya lahan pertanian, rendahnya produktivitas, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan pengangguran tak kentara kiranya sudah menjadi masalah khas perdesaan.
Membangun Desa Inklusif/Ilustrasi
Permasalahan itu kemudian berkembang lagi dengan ketunakismaan (landlessness), menajamnya ketimpangan, melemahnya kohesi sosial, dan eskalasi ancaman bencana lingkungan. Bakal bertambah runyam jika, misalnya, korupsi ikut merambah daerah perdesaan bersamaan dengan mengalirnya sejumlah besar dana ke desa-desa.

Kemiskinan perdesaan itu sendiri tidaklah sesederhana ungkapannya karena di dalamnya bisa tercakup gizi buruk; rumah tak layak huni; kurangnya akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi lingkungan.

Kompleksitas permasalahan perdesaan menjadikan tidak ada satu pun pendekatan tunggal yang dapat diklaim sebagai solusi paling mujarab. Kehadiran Dana Desa tak serta-merta mampu mengatasi berbagai permasalahan perdesaan yang cenderung akumulatif, berkarat, dan telah berpuluh-puluh tahun lamanya.

Pendekatan inklusif

Boleh jadi dibutuhkan waktu cukup panjang dan berbagai pendekatan untuk diintegrasikan dan disinergikan guna mengatasi masalah perdesaan dan mereformasi desa-desa kita. Salah satunya adalah pendekatan inklusif. Pendekatan ini dapat dilaksanakan secara simultan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, termasuk di antaranya pendekatan teknologi dan pendekatan kewirausahaan sosial.

Melalui pendekatan inklusif, seluruh anggota komunitas desa, baik petani, nelayan, buruh tani, perajin, kaya, miskin, bahkan kelompok difabel, terlebih kaum perempuan, diberikan peluang yang sama untuk terlibat dan berpartisipasi dalam membangun desa, termasuk dalam pembangunan sosial dan pemberdayaan kelompok rentan, melalui suatu proses yang transparan, partisipatif, dan demokratis.

Proses itu dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dikenal sebagai musyawarah desa. Para warga desa secara kolaboratif dan kolektif menentukan nilai-nilai dan kebutuhan mereka sendiri serta mengartikulasikan tujuan dari program-program yang dikehendaki beserta cara-cara mencapainya.

Dengan pendekatan dan proses seperti itu, para warga dari kelompok rentan, yang selain miskin mungkin juga kurang berpendidikan serta kaum perempuan desa, akan merasa lebih "dimanusiakan" dan dihargai sebagai sesama warga desa yang ikut menentukan nasib desanya sendiri.

Partisipasi seluruh warga desa dengan didampingi dan difasilitasi oleh para ahli dan pemerintah desa, serta pemerintahan pada level di atasnya, akan mengawalisuatu proses pembangunan desa secara inklusif.

Pendekatan tersebut hendaknya juga diutamakan dalam pengelolaan Dana Desa untuk pembangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan warga, pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi tepat guna, upaya konservasi lingkungan, mitigasi bencana lingkungan, dan pengembangan pranata sosial-ekonomi desa, khususnya badan usaha milik desa (BUMDesa) dan koperasi berbasis warga perdesaan serta kelompok-kelompok swadaya masyarakat.

UU No 6/2014 telah memberikan solusi bahwa desa bisa mendirikan BUMDesa cukup melalui musyawarah dan dikukuhkan dengan peraturan desa.

BUMDesa dan koperasi

Kelompok rentan perdesaan, khususnya petani kecil dan buruh tani, sangat mungkin tidak memiliki akses untuk memberikan kontribusi signifikan dalam penyertaan modal BUMDesa, sebagaimana kelompok elite desa dan pemerintah desa.

Akan tetapi, setidaknya mereka akan dapat menerima manfaat dalam bentuk harga produk dan rantai pasok yang lebih adil, biaya input dan biaya pemasaran yang lebih ekonomis, serta program-program bantuan sosial tertentu, bahkan tersedianya lapangan pekerjaan sejalan dengan berkembangnya BUMDesa tersebut.

UU No 6/2014 secara implisit menghendaki BUMDesa hadir sebagai lembaga kewirausahaan sosial perdesaan.

Selain itu, kelompok rentan perdesaan juga dapat membangun wahana pemberdayaan dengan membentuk koperasi berbasis kelompok-kelompok swadaya. Sebagai catatan, tentu saja koperasi ini tidak menafikan penyertaan modal dari kelompok elite desa ataupun pemerintah desa.

Koperasi ini dapat menggarap bidang-bidang usaha penyediaan bahan-bahan pokok dan layanan keuangan mikro, sedangkan BUMDesa mengelola sumber daya alam, layanan umum, dan penyediaan sarana produksi pertanian, serta penyaluran program-program bantuan dari pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten.

Bukan itu saja, kelompok rentan perdesaan, tak terkecuali perempuan, memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan dan meningkatkan pendapatan dari proyek-proyek infrastruktur fisik perdesaan yang dilaksanakan setiap tahun secara swakelola dan gotong royong.

Dengan demikian, akanterbangun suatu pola alokasi sumber daya dan distribusi pendapatan yang adil, ketika kelompok elite desa akan memperoleh tambahan pendapatan dari hasil "urun" modalnya di BUMDesa, sementara kelompok-kelompok rentan diberdayakan melalui koperasi, peluang pekerjaan dari berkembangnya BUMDesa, dan dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur fisik perdesaan.

Masih ada lagi manfaat lainnya, yakni terbukanya peluang-peluang usaha dengan dana bergulir dan layanan keuangan mikro serta program-program pemberdayaan masyarakat.

Sinergi antara BUMDesa yang berkarakter wirausaha sosial dan koperasi berbasis warga desayang berkarakter wirausaha kolektif, bersamaan dengan pemanfaatan Dana Desa secara efektif baik untuk pembangunan desa maupun pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan inklusif, dan disokong oleh pemerintahan desa dengan tata kelola yang baik, akan memberikan jaminan terbebasnya desa-desa dari keterbelakangan dan kemiskinan serta terbangunnya desa-desa yang maju, mandiri, dan sejahtera.(*)

Oleh Bambang Ismawan, Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Swadaya. 

Sumber: Kompas.com

Kurang Waktu 6 Bulan, KUR Rp1 Triliun Masuk ke Desa

Ayo Bangun Desa - Dalam enam bulan terakhir, lebih dari Rp1 Triliun Kredit Usaha Rakyat (KUR) oleh Bank BUMN telah disalurkan ke desa. Hal ini disampaikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi saat berdialog dengan sejumlah wartawan di Kantor Kalibata Jakarta, Jum'at (31/3). 
Ia mengatakan, model Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades) akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan KUR. Sebab, Prukades akan membantu sektor UKM, pertanian, perkebunan, dan kelautan terjamin saat panen. Tersedianya pasca panen akan menjadikan harga lebih stabil sehingga petani menjadi bankable.

Baca: Tingkatkan Ekonomi Desa melalui Program Prudes.

"Sehingga tidak perlu diminta juga bank akan menyalurkan (KUR). Karena bank juga butuh menjual uangnya tapi yang aman," terangnya.

Menteri Eko melanjutkan, pembagian KUR ke desa menjadi penting dengan memperhatikan terlebih dulu kesiapan bisnisnya. Pasalnya, jika KUR telah diberikan sebelum bisnis berjalan justru akan menyusahkan masyarakat. "Bank juga takut kalau tidak ada bisnisnya, kalau dibantu KUR, KUR-nya macet kan pihak bank juga yang akan dipenjara," ujarnya.

Terkait Prukades ia menjelaskan, program tersebut dijalankan dengan melakukan pengklasteran terhadap sektor-sektor pertanian desa. Namun, hal tersebut juga tidak dengan mengesampingkan sektor dan potensi lain di desa. Model tersebut sebelumnya telah diuji coba pada 42 kabupaten, dengan hasil yang baik. Tahun ini, program tersebut dikembangkan melalui gerakan Prukades secara nasional dengan melibatkan sebanyak 436 kabupaten.


"Konkretnya gimana, kita minta mereka (kabupaten) mengusulkan produk unggulannya apa. Nanti kita lakukan afirmasi. Tahun lalu Gorontalo misalnya, kita bantu 25.000 Hektar bibit untuk jagung dari kementerian pertanian, dengan program Prukades. Kabupaten lain ada yang di bidang perikanan, ada pariwisata dengan homestay dan lain-lain, bekerjasama dengan kementerian pariwisata," ujarnya.

Ia mengatakan, problem bagi petani di desa adalah harga produk pertanian tidak stabil karena belum tersedianya pasca panen. Hal ini disebabkan belum adanya sentra ekonomi yang menyebabkan pasca panen bisa masuk ke desa. Prukades dalam hal ini diharapkan mampu menyelesaikan masalah tersebut.

"Saat panen harga turun sehingga petani menjadi kapok, pas (produk) langka harga menjadi mahal. Karena tidak ada sentra ekonomi yang pasca panen bisa masuk ke desa. Nah dengan Model Prukades ini keuntungannya ada tiga, petani bankable, bank lebih mudah menyalurkan, negara juga diuntungkan dengan tidak adanya inflasi yang tidak perlu," ujarnya.


Kemendesa PDTT

Kamis, 30 Maret 2017

Ini Alasan 241 Desa yang Tak Bisa Dapat Dana APBN

Ayo Bangun Desa - Sebanyak 241 desa tidak mendapatkan dana desa pada 2016. Padahal dana yang disediakan oleh pemerintah pusat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat besar.

"Ini menyangkut dengan kesiapan daerah untuk mempersiapkan aturan dana desanya, dan kalau itu belum lengkap maka uang tidak bisa diberikan," ungkap Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (29/3/2017).

Baca: Fokus Penggunaan Dana Desa Bergeser Mulai Tahun Depan.

Selain itu, ada juga desa yang mengalami perubahan status. Misalnya berubah menjadi kelurahan, sehingga tidak berhak untuk mendapatkan dana desa.

"Ada desa yang berubah menjadi kelurahan. Juga ada desa ternyata penduduknya enggak ada. Mereka masuk kategori desa tapi itu bagian dari perkebunan dan swasta. Itu otomatis kita tidak salurkan. Juga ada beberapa desa yang ada kasus hukum sehingga tidak diberikan," paparnya.

Eko mencatat beberapa desa tidak mencairkan dana yang sudah diterima. Maka dari itu diperlukan edukasi dari pemerintah pusat maupun daerah. 

Baca: Mengurai Kewajiban Bupati/Walikota dalam Implementasi UU Desa.

"Kemarin salah satunya ini karena ada perubahan nomenklatur yang tadinya badan pemberdayaan masyarakat desa lalu diubah menjadi dinas, ini menjadi keterlambatan. Tapi tahun ini tidak akan ada masalah," tegas Eko.

Pemerintah akan tetap memantau realisasi dana desa agar tepat sasaran. Tujuannya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi desa sekaligus pengurangan kemiskinan.

Baca: Cegah Korupsi, Enam Ribu Aparat APIP Akan Dikerahkan Ke Desa

"Pak Presiden menekankan khusus, dana desa pengawasannya berlapis. Ada dari hukum, Satgas dana desa, ada di keuangan lapor 15040. Juga ada dari NGO, media, jadi pengawasannya ketat," tukasnya.

Detik.com

Hikmah Menyulam Jala yang Robek

Untuk mewujudkan sebuah impian butuh waktu dan proses. Panjang pendeknya sebuah proses tergantung waktu, kerja keras, keuletan, kegigihan, dan kesabaran seseorang dalam mengerjakannya.
Jala adalah alat  penangkap ikan. Alat ini tidak hanya digunakan untuk menjaring ikan di waduk, danau, rawa, bahkan dilaut, alat ini bisa juga digunakan untuk menangkap ikan di sugai atau kolam.
Belajar Menyulam Jala yang Robek
Jarang sekali sukses itu diraih secara instan, kecuali datang mujizat dari Tuhan. Maka berusahalah untuk bisa menghargai sebuah proses dalam mencapai impian hidup, banyak orang yang gagal karena tidak mampu untuk sabar.

Manusia yang terlahir kedunia ini saja tidak ada yang lansung berdiri, kemudian berlari. Tapi semua Allah ciptakan secara bertahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ar-Rum.

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak (memiliki anak."

Semua Orang Mampu Membuat Jala

Bagi yang tinggal di desa pingiran sungai atau berdomisili di pesisir pantai. Alat ini tidak hanya digunakan untuk menjaring ikan di waduk, danau, rawa, bahkan dilaut, alat ini bisa juga digunakan untuk menangkap ikan di sugai atau kolam.

Banyak orang sanggup membeli jala, tapi tidak semua orang mampu membuatnya. Karena, dalam membuat jala membutuhkan kesabaran, ketelitian, fokus dan konsisten.

Jala termasuk jenis anyaman. Benang kapas atau nilon yang dianyam menggunakan tingau dan pengapang. Tingau adalah alat pemintal benang dan untuk menganyam jala. Sedangkan pengapang adalah alat bantu untuk mengatur agar mata jala menjadi teratur dan rapi. Biasanya dibuat dari batang bambu.

Setelah jala siap dibuat. Cara menggunakan jala membutuhkan teknik khusus. Berdiri dengan menyandang sebagian daun jala, sebagian dari daun jala dipegang dengan tangan kiri dan kanan.

Kemudian ambil ancang-ancang yang cukup, jala diayun dan dilemparkan ke lokasi yang diduga terdapat ikan. Jala akan mengambang dan memerangkap ikan dengan areal luas tertentu.

Setelah itu ditarik perlahan agar ikan yang telah terperangkap dalam jala tidak lepas dari jala. Sebagai pemberat jala digunakan gelang timah menyerupai rantai. Cincin rantai pemberat jala ini akan membuat ikan tidak bisa berkutik dan lepas dari perangkap jala.

Hikmah dari Menyulam Jala yang Robek

Stiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda. Tidak ada manusia supermen, manusia serba bisa dan manusia serba menguasai. Setiap manusia ada sisi lebih dan kurangnya. 

Itulah salah satu hikmah, setelah saya belajar menyulam jala yang robek milik warga sekampung. Meskipun saya belum pernah menggunakan jala, tapi jika mau belajar sampai bisa. Maka tidak ada yang tidak bisa.

Lagi pula tidak ada manusia yang gagal, karena Tuhan tidak pernah menciptakan produk gagal! 

Rabu, 29 Maret 2017

Jokowi: 241 Desa Belum Menerima Dana Desa

Ayo Bangun Desa - Presiden Joko Widodo mengaku mendapat laporan mengenai penyaluran dana desa pada 2016. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 46,98 triliun.

Namun, masih ada empat kabupaten/kota yang dana desanya tidak cair dari rekening Kas Umum Negara ke Kas Umum Daerah karena keterlambatan di pemerintah kabupaten/kota.

"Selain itu, ada 241 desa yang belum menerima dana desa karena berbagai faktor," kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (29/3/2017).

Jokowi meminta masalah ini bisa segera diatasi oleh jajarannya. Tahun 2017 ini, Jokowi minta dipastikan betul semua desa bisa menerima dana desa. Apalagi, anggaran untuk dana desa sudah ditingkatkan hingga Rp 60 triliun.

Jokowi juga meminta agar pemanfaatan dana desa dilihat lagi dampaknya pada upaya peningkatan produktivitas perekonomian desa serta upaya mengatasi kemiskinan dan ketimpangan di desa.

Dari data yang Jokowi terima, pemanfaatan dana desa lebih banyak difokuskan untuk memperbaiki infrastruktur yang mendukung bergeraknya perekonomian desa, seperti jalan, jembatan, pasar, fasilitas air bersih, sumur, embung, dan saluran irigasi.

"Tahap berikutnya, saya ingin agar alokasi dana desa digunakan lebih besar lagi untuk pengembangan potensi ekonomi desa, terutama untuk sektor pertanian, perikanan dan industri UMKM di desa," ucap Jokowi.

Selain itu, lanjut Jokowi, dana desa juga harus terus didorong agar membuat partisipasi warga ikut terlibat dalam peningkatan kualitas hidup warga desa. Sekaligus juga ikut mengawasi penggunaan dana desa agar tepat sasaran.

"Dalam pengembangan potensi ekonomi desa, pendekatannya tidak bisa parsial, tidak boleh sektoral, tapi harus betul-betul integratif dari hulu sampai hilir," ucapnya.(*)

Kompas.com


Presiden Jokowi Minta Dana Desa Dimanfaatkan untuk Turunkan Jumlah Penduduk Miskin

Ayo Bangun Desa - Berdasarkan data yang diterimanya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan, persentase kemiskinan di pedesaan tercatat 13,96 persen, hampir dua kali lipat persentase penduduk miskin di kota sebesar 7,7 persen. Untuk itu, pemerintah akan terus meningkatkan alokasi Dana Desa agar memberikan manfaat bagi warga di desa, terutama pada penurunan jumlah penduduk yang miskin.
Presiden Joko Widodo
“Pada tahun 2015 dialokasikan Rp20,7 triliun, 2016 dialokasikan Rp46,9 triliun, dan pada 2017 pemerintah menyalurkan Dana Desa sebesar Rp60 triliun,” kata Presiden Jokowi saat memberikan pengantar pada rapat terbatas tentang Percepatan Pembangunan Desa, di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (29/3) siang.

Presiden berharap agar penyaluran dan pemanfaatan dana desa tersebut bisa betul-betul efektif, sehingga memberikan manfaat bagi warga di desa, terutama pada penurunan jumlah penduduk yang miskin.

Terkait dengan penyaluran Dana Desa itu, Presiden Jokowi mengaku mendapatkan laporan bahwa pada Tahun Anggaran 2016 masih ada 4 (empat) kabupaten/kota yang Dana Desanya tidak cair dari Rekening Kas Umum Negara ke Kas Umum Daerah, karena keterlambatan di pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, ada 241 desa yang belum menerima dana desa karena berbagai faktor.

“Saya minta masalah ini segera diatasi. Dan tahun 2017, saya minta dipastikan betul semua desa bisa menerima Dana Desa,” tegas Presiden.

Potensi Ekonomi Desa


Menyinggung pemanfaatan Dana Desa, Presiden menekankan agar dilihat lagi dampaknya pada upaya peningkatan produktivitas perekonomian desa, serta upaya mengatasi kemiskinan dan ketimpangan di desa.

Dari data yang diterimanya, menurut Presiden, pemanfaatan Dana Desa lebih banyak difokuskan 29 persen untuk memperbaiki infrastruktur yang mendukung pergerakan ekonomi desa, seperti jalan desa, jembatan, pasar desa, fasilitas air bersih, sumur, embung, dan saluran irigasi.

Untuk tahap berikutnya, Presiden Jokowi menginginkan agar alokasi Dana Desa lebih besar lagi digunakan untuk pengembangan potensi ekonomi desa, terutama untuk sektor pertanian, perikanan, dan industri UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di desa.

Selain itu, lanjut Presiden, Dana Desa juga harus terus didorong agar partisipasi warga untuk ikut terlibat dalam peningkatan kualitas hidup warga desa, sekaligus untuk ikut mengawasi penggunaan Dana Desa agar tepat sasaran.

“Dalam pengembangan potensi ekonomi desa, pendekatannya tidak bisa parsial, tidak boleh sektoral, tapi betul harus integratif dari hulu sampai hilir,” tegas Presiden.

Rapat terbatas itu dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan Budi K Sumadi, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.(*)

Setkab.go.id

Fokus Penggunaan Dana Desa Bergeser Mulai Tahun Depan

Ayo Bangun Desa - Penggunaan dana desa untuk kebutuhan membangun infrastruktur dasar ditargetkan selesai tahun ini. Peruntukan dana desa sudah harus bergeser untuk pemberdayaan masyarakat di tahun 2018. 
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Tranamigrasi, Eko Putro Sandjojo, mengatakan bahwa tiga tahun sejak digelontorkannya dana desa pada 2015 sudah melakukan pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, irigasi, dan sebagainya.

Program dana desa harus sudah fokus pada upaya pemberdayaan masyarakat. “Tahun ini, infrastruktur dasar desa diharapkan sudah terpenuhi semua sehingga sudah saatnya bergeser program untuk mengungkit pemberdayaan ekonomi masyarakat desa,” papar Eko seusai melakukan kunjungan kerja ke Malang, Jawa Timur, Senin (27/3).

Pernyataan ini disampaikan Eko seiring dengan akan terus meningkatnya alokasi anggaran untuk dana desa yang tahun depan mencapai 120 triliun rupiah. Dengan kata lain, setiap desa nantinya akan mendapatkan anggaran sekitar 1,8 miliar rupiah per tahun. Untuk itu, kata Eko, kementeriannya akan memperkuat pengembangan Program Unggulan Kawasan Pedesaan (Prukades). Nantinya, setiap pemimpin daerah diwajibkam untuk menetapkan satu fokus pengembangan potensi wilayahnya.

“Prukades ini akan dijadikan program nasional, kepala daerah silakan pilih fokus pengembangannya. Nanti sesuai instrukai Presiden, ada 19 kementerian dan lembaga yang akan terjun untuk mempercepat program,” ujar Eko. Eko menyebutkan setiap desa dapat memilih fokus pengembangan apakah akan masuk ke bidang pertanian, kelautan, atau pariwisata. Sejumlah daerah, menurut dia, telah menerapkan program tersebut untuk memberdayakan masyarakatnya. “Seperti di Halmahera mau fokus di jagung, nanti Kementerian Pertanian akan turun bantu bibit,” katanya.

Potensi Ekowisata

Begitu juga dengan Sulawesi Utara yang sudah memilih fokus mengembangkan sektor pariwisata. Kemudian, pemerintah turun langsung untuk membuka lima penerbangan langsung ke luar negeri. “Seperti itu nanti wujud support pemerintah pusat,” kata Eko. Tidak hanya di Sulut, pengembangan potensi desa di bidang pariwisata utamanya ekowisata juga dilakukan Desa Sanankerto, Turen, Malang, Jawa Timur, melalui ekowisata Boon Pring.

Kawasan wisata yang dikembangkan melalui dana desa tersebut berfungsi sebagai sumber irigasi utama. Tiga desa dialiri dari sumber tersebut, yakni Desa Sanankerto, Desa Sananrejom, dan Desa Pagedangan. “Awalnya tempat ini hanya kebun bambu, kemudian ada kegiatan konservasi masyarakat, maka pada tahun 1978 dibangun embung,” ujar Kepala Desa Sanankerto, Subur. Pada tahun 2014 lalu, lanjut Subur, kawasan Boon Pring dikembangkan menggunakan konsep ekowisata. Dengan luas dan kedalaman tiga meter, pemanfaatan embung semakin luas, yakni untuk sektor perikanan dan wisata perahu.

Disalurkannya Dana Desa (DD) menginspirasi masyarakat untuk membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kertoharjo. “Ekowisata Boon Pring pun menjadi salah satu unit usahanya,” jelas dia. Ia menjelaskan, pada 2016, ekowisata ini bisa menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 130 juta rupiah per tahun. “BUMDes juga akan kami kembangkan lagi dengan menyertakan modal sebesar 170 juta rupiah yang diambil dari dana desa,” ungkapnya. Rencananya, DD tahun 2017 akan digunakan untuk pengembangan ekowisata. Sebesar 80 juta rupiah untuk pembangunan kolam renang, 40 juta rupiah untuk flying fox, dan 50 juta rupiah untuk sepeda perahu.

Koran-jakarta.com

Selasa, 28 Maret 2017

Menteri PDTT: Dana Desa Naik Lagi Tahun 2018

Ayo Bangun Desa - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjoyo mengungkapkan dana desa yang dikucurkan pemerintah pada 2018 bakal naik lagi hingga mencapai sekitar Rp120 triliun.
Mendes PDTT, Eko Putro Sandjoyo
"Tahun ini dana desa yang dikucurkan sebesar Rp60 triliun dengan rata-rata per desa menerima sebesar Rp800 juta. Dan, tahun depan ada rencana dinaikkan lagi menjadi Rp120 triliun dan setiap desa menerima sebesar Rp1 miliar lebih," kata Mendes PDTT Eko Putro Sandjoyo saat memaparkan kinerja Kemendes PDTT di depan peserta dialog kepala desa dan lurah se-Kabupaten Malang dan Kota Batu di Universitas Islam Malang (Unisma) di Malang, Jawa Timur, Senin (27/3).

Menurut Menteri, dana desa yang dikucurkan ke desa-desa dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada 2015, dana yang dikucurkan sebesar Rp20,76 triliun atau rata-rata per desa menerima sebesar Rp280,3 juta.

Pada 2016, meningkat menjadi Rp46,98 triliun dan setiap desa menerima dana sebesar Rp643,6 juta. Pada 2017, dana desa yang disalurkan pemerintah mencapai Rp60 triliun dan setiap desa menerima sebesar Rp800 juta. "Tahun depan ada rencana dinaikkan lagi karena untuk mengejar pembangunan infrastruktur maupun nonfisik yang ada di desa," jelasnya.

Ia mengakui dana desa berpengaruh cukup besar terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja nasional, bahkan sata statistik mencatat bahwa pada 2016, dana desa berkontribusi sebesar 0,9 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB), penyumbang 0,04 persen dalam pertumbuhan ekonomi nasional, serta ment=yerap tenaga kerja hingga mencapai 2,34 juta jiwa.

Pada tahun ini, lanjutnya, Kemendes PDTT memiliki empat program prioritas, yakni produk unggulan desa atau produk unggulan kawasan perdesaan. "Kami minta setiap daerah segera menentukan produk unggulan masing-masing untuk meningkatkan perekonomian dan membuka kesempatan kerja secara luas," ujarnya.

Selain itu, katanya, program prioritas lainnya adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai mesuin penggerak ekonomi rakyat. Dalam dua tahun terakhir ini jumlah BUMDes meningkat tajam, yakni pada 2014 hanya 1.022 unit dan saat ini sudah mencapai 18.466 unit.

Untuk mengakomodasi BUMDes yang jumlahnya terus meningkat itu, lanjutnya, pemerintah berinisiasi untuk membentuk satu holding, dimana Bulog sebagai leading sektornya. Dan, ada empat bank milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni BNI, BRI, BTN, dan Bank Mandiri yang menjadi pemegang saham utama holding tersebut.

"Holding BUMDes inilah yang nanti akan mengontrol seluruh BUMDes di Tanah AIr, baik dari segi manajemen, SDM maupun produktivitas. Kami berharap dengana danya holding ini, ribuan jaringan BUMDes mampu menjadi perusahaan besar setara internasional," jelasnya.

Selain dua prioritas tersebut, dua prioritas Kemendes PDTT lain yang bakal dituntaskan pada tahun ini adalah membangun embung air desa dan menciptakan sarana olahraga desa (Raga Desa).

Republika.co.id

Senin, 27 Maret 2017

Manfaatkan Embung Boon Pring untuk Ekowisata

Sebuah desa di kaki Gunung Semeru memiliki potensi yang masih tersembunyi. Rimbun dengan pohon bambu, masyarakat mengenalnya dengan Boon Pring. Telaga dan embung di Boon Pring yang terletak di Desa Sanankerto, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang.
Embung di Desa Ekowisata Sanankerto
Telaga dan embung tersebut berfungsi sebagai sumber irigasi utama. Tiga desa dialiri dari sumber tersebut, yakni Desa Sanankerto, Desa Sananrejom dan Desa Pagedangan.

“Awalnya tempat ini hanya kebun bambu. Kemudian ada kegiatan konservasi masyarakat, maka pada tahun 1978 dibangun embung,” ujar Kepala Desa Sanankerto, Subur, saat ditemui di Boon Pring, Senin (27/3).

Pada tahun 2014 lalu, lanjut Subur, kawasan Boon Pring dikembangkan menggunakan konsep ekowisata. Dengan luas dan kedalaman tiga meter, pemanfaatan embung semakin luas, yakni untuk sektor perikanan dan wisata perahu. Disalurkannya Dana Desa (DD) menginspirasi masyarakat untuk membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kertoharjo. Ekowisata Boon Pring pun menjadi salah satu unit usahanya. 

“Pada 2016, ekowisata ini bisa menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 130 juta/ tahun. BUMDes juga akan kami kembangkan lagi dengan menyertakan modal sebesar Rp 170 juta yang diambil dari dana desa,” ungkapnya.

BUMDes yang baru didirikan pada tahun 2016 lalu ini memiliki pengurus dan pengawas sebanyak 10 orang. Awal pendiriannya pun dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Mereka memanfaatkan PAD yang tersedia. Hal itu dilakukan karena dana desa pada 2016 lalu difokuskan untuk membangun infrastruktur berupa tembok penahan jalan dan pemberdayaan masyarakat.

“Rencana DD tahun 2017 akan digunakan untuk pengembangan ekowisata. Sebesar Rp 80 juta untuk pembangunan kolam renang, Rp 40 juta untuk flying fox, dan Rp 50 juta untuk sepeda perahu,” ujar Subur.

Ekowisata Boon Pring kini terus berkembang. Untuk mendukung operasional, pengelola menarik retribusi masuk ke kawasan wisata tersebut sebesar Rp 5.000,00.

Pengembangan embung Boon Pring dengan konsep ekowisata merupakan upaya mewujudkan kemandirian desa. Embung yang memiliki fungsi utama sebagai sumber air bagi masyarakat setempat berhasil memberikan nilai tambah, yakni pengembangan ekowisata yang memberikan manfaat tidak hanya bagi masyarakat desa sekitar, melainkan juga para wisatawan yang berkunjung.

Selain itu, BUMDes yang didapuk menjadi pengelola Boon Pring diyakini akan membuat ekowisata tersebut terus berkembang. Sementara keuntungan yang dihasilkan dapat digunakan untuk membangun desanya.

“Embung desa bisa meningkatkan produksi pertanian kita sebanyak dua kali lipat. Belum lagi bonusnya, yakni peningkatan kegiatan perikanan, pariwisata, dan aktivitas ekonomi lainnya. Itu akan menjadi daya ungkit ekonomi desa,” ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Sandjojo, saat mengunjungi desa ekowisata tersebut.

Menteri Eko menambahkan, embung yang ada di kawasan ini bisa diberikan pompa untuk mengangkat air. Perlu kreativitas para pendamping desa yang juga melibatkan masyarakat agar Boon Pring dapat terus berkembang. Dengan demikian, kawasan ini bisa mengatasi kemiskinan di lingkungan Boon Pring.

“Daerah bagus seperti ini bisa bikin homestay untuk menarik wisatawan, nanti bikin event-event juga bisa di sini. Sangat menarik untuk sektor pariwisata. Kita berikan stimulan Rp 50 juta untuk BUMDes disini,” lanjutnya.[]

Kemendesa PDTT

Minggu, 26 Maret 2017

Pasar Kawasan Perdesaan untuk Percepatan Ekonomi

Ayo Bangun Desa - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Sandjojo, meresmikan Pasar Kawasan Perdesaan Wringin di Desa Widarapayung Wetan, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Minggu (26/3). 
Foto: Ilustrasi
Pasar tersebut merupakan pasar kawasan perdesaan yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP), Kemendes PDTT. Selain itu, Menteri Eko juga menyerahkan kapal tangkap ikan untuk nelayan di desa setempat.

"Pasar Wringin ini diharapkan dapat menjadi sarana percepatan pembangunan ekonomi khususnya di Desa Widarapayung Wetan," ujar Menteri Eko.

Pasar seluas 200 meter persegi tersebut dibangun mulai November 2016 lalu. Total dana yang digunakan yakni sekitar Rp1,1 miliar. Pasar ini memiliki delapan kios dan tiga los yang mampu menampung hingga 15 pedagang.

Setelah meresmikan Pasar Wringin, Menteri Eko singgah di sebuah warung untuk berdialog dengan para Kepala Desa. Ditemani kopi dan tempe mendoan, Menteri Eko mengingatkan para Kepala Desa agar memanfaatkan dana desa dengan sebaik-baiknya.

Dirinya menjelaskan, fokus penggunaan dana desa tahun 2017 ditujukan pada empat hal. Pertama, pembangunan ekonomi melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). 

Menurutnya, BUMDes diharapkan mampu memberikan pengaruh pada peningkatan ekonomi masyarakat, baik melalui usaha simpan pinjam maupun perdagangan ritel khususnya pada pengembangan produk lokal.

“Kedua, kami minta agar desa segera menentukan Produk Unggulan Desa (Prudes). Tiap desa harus lebih fokus pada satu produk. Sehingga, para petani tidak dipermainkan lagi dan memiliki masalah harga dengan para tengkulak,” lanjutnya.

Ketiga, lanjut Menteri Eko, yakni dengan membangun embung air. Hal itu diperlukan untuk meningkatkan produk unggulan para petani yang saat ini masih kesulitan masalah air. Program tersebut juga sekaligus merupakan instruksi Presiden Joko Widodo. Dengan adanya embung, para petani diharapkan dapat lebih produktif. Dari kemampuan panen satu kali menjadi tiga atau empat kali dalam setahun.

"Yang terakhir bangunlah sarana olahraga agar masyarakat desa dapat berkumpul untuk berolahraga bersama. Kita jaga kerukunan dengan baik. Disamping, itu bila terjadi keramaian di tempat-tempat olahraga maka akan ada pergerakan gairah ekonomi yang dibangun oleh masyarakat," ujarnya.(*)

Kemendesa PDTT

Desa, Pilar Ekonomi Masa Depan

Sebutkan kata “desa” maka pikiran orang melayang ke daerah-daerah terkebelakang di atas gunung, atau kampung nelayan di pesisir pantai. Tapi tahukah Anda bahwa dalam tempo 10-20 tahun dari sekarang, desa bisa menjadi pilar unggulan perekonomian nasional? Diam-diam pemerintah sedang memberdayakan 75.000 desa yang kapasitas produksinya akan melipatgandakan GDP Indonesia, bahkan nilai kapitalisasinya akan menandingi perusahaan-perusahaan raksasa dunia.

Buang jauh-jauh kepentingan partai, kelompok dan golongan. Mari kita bicara tentang nasib bangsa ini menjelang peringatan 100 tahun Indonesia Merdeka. Sebelum peringatan tersebut, bila program pembangunan desa yang dijalankan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Nawacita itu berhasil secara merata dan berkesinambungan [dilanjutkan oleh pemerintahan-pemerintahan berikutnya], maka desa-desa di Indonesia akan menciptakan consumption power senilai Rp12.000 triliun atau mendekati US$ 1 triliun —sama seperti GDP Indonesia saat ini, termasuk yang dihasilkan oleh kawasan perkotaan dan kawasan industri.

Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sudah menghitungnya secara cermat bahwa potensi desa yang sangat besar itu harus ditumbuh-kembangkan, karena inilah salah satu pilar unggulan ekonomi Indonesia di masa depan.

Saat ini [2017] penduduk Indonesia berjumlah 259 juta yang mencakup angkatan kerja sebanyak 47% atau 125 juta orang. Setengah dari jumlah ini tinggal di desa-desa. Tapi dalam kurun waktu 10 tahun dari sekarang, Indonesia akan memperoleh bonus demografi ketika jumlah penduduk naik menjadi lebih dari 270 juta orang dan angkatan kerja bertambah menjadi 67% dari jumlah penduduk.

Tahun 2030 jumlah penduduk negeri ini diperkirakan akan mencapai 300 juta orang, sekitar setengahnya berada di kawasan perdesaan. Jika dihitung bahwa nanti terdapat 200 juta angkatan kerja saja —sekitar 10-15 tahun dari sekarang —maka ada 100 juta pekerja yang tinggal di daerah pedesaan.

Dalam kalkulasi Eko Putro Sandjojo, jika setiap desa fokus memproduksi satu produk unggulan tertentu melalui Program Unggulan Desa (Prudes) atau di Jawa dikenal dengan nama Program Kawasan Perdesaan (Prokades) maka akan menghasilkan skala ekonomis yang berdampak.

Setiap angkatan kerja di desa bisa memperoleh penghasilan Rp2 juta per bulan, karena sektor pertanian yang terintegrasi secara vertikal bisa memberikan pekerjaan turunan. Misalnya ada kuli panggul, ada buruh, ada pegawai di perusahaan pasca-panen, sopir truk, warung-warung, retail dan seterusnya. Jadi multiplier effect-nya besar. Maka desa akan menyumbang paling sedikit Rp200 triliun per bulan kepada perekonomian nasional.

Apabila jumlah Rp200 triliun itu menghasilkan consumption effect lima kali lipat —sebagai kalkulasi moderat— maka kapasitas konsumsi berbasis desa akan mencapai Rp1.000 triliun per bulan atau Rp12.000 triliun per tahun atau enam kali APBN 2017. Sehingga akan memberikan kontribusi sekitar US$1 triliun kepada GDP Indonesia.

Ini kalau kita hitung bahwa dalam tempo 10-15 tahun dari sekarang program pembangunan desa yang dijalankan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi itu membuat penghasilan angkatan kerja di desa tumbuh menjadi Rp2 juta per orang per bulan.

Di banyak desa jumlah ini akan jauh lebih besar. Pendapatan rata-rata masyarakat desa di Jawa saat ini pun sudah lebih dari Rp2 juta. Tapi dengan hanya Rp2 juta saja, desa sudah bisa menciptakan nilai sebesar GDP Indonesia saat ini, apalagi kalau bisa lebih, ujar Eko Putro Sandjojo ketika ditemui Pitan Daslani dan Andrea Salman dari Indonesian Leaders.

“Itu yang akan menjadi kekuatan Indonesia. Berarti cita-cita Pak Joko Widodo dalam membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam rangka NKRI itu bukanlah isapan jempol. Secara matematika bisa dibuktikan. Nah, teknisnya, bagaimana agar kita membuat Produk Unggulan Desa (Prudes) ini jalan.”


Produk Unggulan Desa


Kementerian yang dipimpin Eko kini sibuk mendorong desa-desa di Tanah Air untuk fokus mengembangkan produk-produk unggulan tertentu sesuai potensi daerahnya masing-masing dengan semboyan One Village One Product. Selama ini karena tidak terorganisir dengan baik maka desa-desa tidak mempunyai fokus produksi. Namun hal inilah yang sedang dibenahi agar setiap desa memiliki produk unggulan tertentu sehingga bisa mempunyai skala produksi yang besar.

One Village One Product adalah satu dari empat program yang menjadi strategi kementerian ini. Produk-produk unggulan ini akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang merupakan program unggulan kedua. Program unggulan lainnya adalah Embung Desa dan Sarana Olahraga.

BUMDes berbentuk perseroan terbatas (PT) yang dikelola oleh desa dan berada di bawah holding dimana empat bank BUMN yaitu Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI) menjadi pemilik mayoritas (51%) sementara desa mengontrol 49% saham perusahaan tersebut.

Guna meningkatan kinerja serta menerapkan transparansi dalam pengelolaan BUMDes maka pemerintah juga telah mendorong kehadiran mitra-mitra BUMDes untuk bekerjasama.

“Kalau satu desa punya satu mitra BUMDes, dan satu mitra BUMDes bisa untung Rp 1 miliar per tahun, maka jika dikonsolidasikan akan menghasilkan Rp 75 triliun net profit. Sampai sekarang belum ada perusahaan di Indonesia bisa menghasilkan net profit sebesar itu,” ujar Menteri Eko.

Bandingkan net profit dari satu holding ini (Rp75 triliun) dengan keuntungan 138 BUMN yang berjumlah Rp140 triliun. “Nah perusahaan yang punya net profit Rp75 triliun tentu tidak mungkin kita diamkan saja. Saya tentu akan float ke pasar saham.

Kalau price to earning (P/E) ratio-nya 20 misalnya maka kapitalisasi pasarnya sudah Rp1.500 triliun atau US$ 120 miliar, atau sama dengan 30% dari nilai kapitalisasi Apple Computer. BumDes ini bisa menjadi world-class company.”

Menteri Eko yang berlatarbelakang profesional bisnis itu berpendapat bahwa salah satu kunci keberhasilan pengembangan kawasan perdesaan adalah manajemen korporasi BumDes secara profesional.

“Malaysia dan Singapura itu negara kecil yang sumber daya alamnya tak sebanyak Indonesia, tetapi karena dia kompak sehingga bisa mengkapitalisasi bukan hanya resources negaranya tetapi juga recources negara tetangga.”


Embung Air Desa

Karena 82% masyarakat di perdesaan hidup di sektor pertanian, maka titik beratnya adalah membuat tiap desa fokus ke komoditas pertanian dan pendukungnya.

Untuk menunjang penciptaan produk-produk unggulan desa, maka Menteri Eko sibuk mendorong pembangunan embung air sesuai visi yang ditetapkan Presiden.

“Di Indonesia ini hanya 45% desa yang mempunyai saluran irigasi. Sisanya belum punya saluran irigasi. Jadi yang punya saluran irigasi itu bisa tiga kali panen, tapi yang tidak punya saluran irigasi cuma pas musim hujan saja bisa menanam dan hanya satu kali panen. Jadi rata-rata nasional cuma 1,4 kali panen per tahun, padahal seharusnya bisa tiga kali panen, kalau ada air.

“Karena itulah maka tambahan anggaran desa sebesar Rp20 triliun itu Bapak Presiden minta untuk digunakan membangun embung air di setiap desa. Jadi desa mengalokasikan Rp200-500 juta untuk membangun embung air.

“Embung air itu tak perlu harus dibikin di tanah baru; saluran irigasi dilebarkan dan diperdalam itu juga bisa jadi long storage sebagai embung air juga. Sehingga pada saat musim kemarau pun bisa ditarik pakai pompa, airnya bisa buat menanam agar bisa tiga kali panen. Jadi secara nasional bisa naik dua kali lipat dengan lahan yang sama.

“Embung itu juga bisa dimanfaatkan untuk perikanan; jadi supaya tidak idle, digunakan untuk perikanan agar ada additional income buat desa. Perikanan bisa dimanfaatkan juga buat pariwisata. Jadi tahun lalu ada yang curi start, ada 600 desa yang sudah bikin embung. Di Kutai Kartanegara kebetulan kaya dana bagi hasilnya ada Rp 7 triliun, jadi setiap desa dikasih Rp 3 miliar.”

Holding BUMDes

Sistematikanya adalah membangun produk unggulan setiap desa, kemudian disusul pembangunan embung air sehingga penduduk desa mempunyai penghasilan yang meningkat, barulah dibentuk BUMDes di tiap desa lalu di-holding-kan di bawah empat bank BUMN itu.

BUMDes sering tidak dipahami banyak orang yang menyangkanya sebagai koperasi. Padahal BUMDes dan koperasi adalah dua hal yang berbeda karena BUMDes adalah perseroan terbatas (PT) yang dikelola oleh desa dan keuntungannya digunakan 100% untuk kepentingan desa, misalnya membangun atau memperbaiki infrastruktur perdesaan. Sedangkan koperasi dimiliki anggotanya yang menggunakan 100% keuntungannya untuk kepentingan anggota masyarakat.

Banyak BUMDes yang sudah sukses, bahkan mampu mencetak laba Rp10-15 miliar, namun banyak pula yang masih belum sukses karena terkendala oleh minimnya SDM pengelola yang mumpuni.

“Yang sukses itu di daerah-daerah yang mempunyai human resources yang ada kapasitas untuk mengelola semacam BUMDes. Tapi problemnya, tidak semua desa, apalagi desa-desa yang jauh, itu punya SDM demikian.”

Karena itu maka sekarang Menteri Eko dibantu oleh BNI untuk melatih 1.500 BUMDes setiap tahun melalui BNI University yang melatih di bidang kewirausahaan dan manajemen. Tapi bila hanya melatih 1.500 BUMDes per tahun sementara ada 75.000 desa, maka diperlukan 50 tahun untuk melatih SDM BUMDes di semua desa. Inilah sebabnya Menteri Eko kemudian membentuk holding BUMDes
.

Pemilik holding ini adalah keempat bank BUMN tersebut yang memegang saham 51%. Holding ini akan mempunyai anak perusahaan di tingkat provinsi, kabupaten, dan desa. Holding dimaksud sudah terbentuk dan sedang menangani proyek percontohan di dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Banten.

Repotnya, holding ini berhadapan dengan BUMDes-BUMDes yang kapasitasnya beragam. Ada yang sudah punya laba bersih Rp15 miliar, ada yang labanya hanya Rp1 miliar, sementara ada juga yang pas-pasan. Ini membuat holding kesulitan untuk melakukan valuasi, Untuk mengatasi kondisi ini maka Menteri Eko munculkan solusi terobosan yaitu membentuk mitra-mitra BUMDes yang sahamnya 51% dimiliki oleh negara melalui holding sedangkan 49% dimiliki oleh desa.

Negara tetap akan mengontrol 51% agar pengelolaan BUMDes bisa transparan dan tidak menjadi monopoli kelompok kepentingan. Sebab pengalaman selama ini ada juga BUMDes yang sukses ternyata pengurusnya adalah anggota keluarga dan kerabat kepala desa. Dengan adanya holding maka praktik semacam itu bisa dicegah dan mereka bisa magang di bawah holding untuk mempelajari manajemen BUMDes secara profesional sebagai korporasi.

Manfaat lainnya adalah pemerintah dapat mennyalurkan semua subsidi melalui mitra-mitra BUMDes dan bank-bank yang mengelola holding akan lebih nyaman memberikan kredit.

Bulan Maret 2017 ketika holding BUMDes mulai beroperasi untuk pilot project di Banten dan Jawa Barat, hasilnya mulai tampak. Total jumlah BUMDes dikabarkan mencapai lebih dari 14.000 namun yang terdata di kementerian ini sudah lebih dari 22.000. Fokus kementerian adalah bukan kuantitas, melainkan kualitasnya agar bisa mandiri.

Selain itu dari sisi keamanan dan pengembangan aset, akan lebih terjamin, misalnya solar cell, traktor, harvester, dan peralatan lainnya. BUMDes yang memiliki 10 traktor misalnya dapat dijaminkan ke bank untuk membeli 20 traktor lagi.

“Jadi dengan anggran negara yang terbatas BUMDes bisa seolah-olah mendapat kapital dalam bentuk barang yang bisa dijaminkan untuk membeli barang baru lagi lalu disewakan kepada masyarakat. Begitu pula apabila diberi satu sarana air bersih, bisa di-leverage menjadi bebrapa sarana air bersih.”

Dengan demikian maka mitra-mitra BUMDes akan dengan mudah mencetak laba Rp100 juta per tahun karena berbagai produk dagangannya seperti beras dan minyak goreng dapat dijual di situ. Nanti distribusinya melalui koperasi-koperasi desa yang terfokus ke komoditas spesifik khas desa, misalnya koperasi transportasi, koperasi jagung, padi, dan lainnya. Pemerintah mensubsidi dengan memberikan pupuk secara gratis.
Sinergi Kementerian dan Lembaga

Ini baru bicara tentang potensi desa, belum lagi tentang dampaknya bagi perekonomian di daerah perkotaan. Akan akan multiplier effects terhadap kota-kota, karena jaringan distribusi produk dari desa serta kebutuhan masyarakat perdesaan akan menciptakan lapangan kerja baru serta dampak ekonominya secara berantai terus sampai ke kota-kota.

Maka Menteri Eko sangat yakin bahwa desa akan mampu menghasilkan tambahan US$1,5 triliun kepada Produk Domestik Bruto nasional. Inilah sebabnya Presiden Jokowi yakin program Prudes dan Prukades bisa sukses.

Banyak kepala daerah mulai menerapkan program ini, misalnya di Halmahera Barat yang bupatinya melapor kepada Menteri Eko bahwa ia sudah membuka kawasan 20.000 hektar untuk jagung, dan bibitnya didapat dari Menteri Pertanian.

Ke depan program yang didukung oleh 19 kementerian dan lembaga ini akan menjadi gerakan nasional dimana masing-masing daerah akan fokus ke produk-produk tertentu sesuai potensi terbesar di daerahnya.

Kementerian dan lembaga-lembaga dimaksud pun Tupoksi-nya berada di desa sehingga memudahkan implementasi program Prudes dan Prukades, ujar Menteri Eko, meyakinkan.

Dengan adanya sinergi dari 19 kementerian dan lembaga ini maka dana desa sebesar Rp60 triliun dari total transfer Rp560 triliun ke daerah itu bisa menjadi penggerak peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Tapi, mungkinkah semua ini akan berjalan dengan baik dari sisi manajemen kebijakan pemerintah pusat?

Menteri Eko menjawabnya enteng: “Enaknya, Pak Jokowi itu kita baru ngomong sedikit, dia sudah menangkap maksudnya; apalagi karena dia juga berlatarbelakang pengusaha. Jadi kita tak perlu bingung-bingung bicara. Dia cepat paham maksud kita; dia langsung panggil menteri-menteri lainnya untuk membantu Menteri Desa. Enaknya Pak Jokowi itu begitu.”

Mengingat bahwa strategi, struktur, sistem, serta skill untuk menjalankan program raksasa ini sudah dibangun, maka perlu adanya kesinambungan kebijakan pemerintah pusat sebagai jaminan konsistensi arah pengembangan kawasan perdesaan terus ke depan.

Penyakit paling menyakitkan di negeri ini adalah ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional maka semua strategi dan program pembangunan yang baik kemudian ditinggalkan dan diganti lagi dengan strategi baru yang dimulai dari awal.

Pemerhati-pemerhati masalah ekonomi memperkirakan bahwa Presiden Jokowi perlu 10 tahun untuk merampungkan rencana besar yang sudah berjalan ini agar manfaatnya bisa dirasakan oleh puluhan ribu desa yang dihuni begitu banyak penduduk Indonesia. [*]

Sumber: majalahleaders.com

Foto: Komunitas Ayo Bangun Desa

Cara Presiden Jokowi Memilih Menteri Desa

Cara Presiden memilih Menteri Kabinet memberikan gambaran tentang apa yang bisa diharapkan dari pemerintahannya. Ada alasan kuat mengapa Presiden Joko Widodo memilih Eko Putro Sandjojo sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sebab negara hanya akan sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya akan sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya.

Ketika Presiden Soeharto memanggil Ali Wardhana untuk menjadi Menteri Keuangan dalam kabinet pertamanya, Ali menolak karena ia belum berpengalaman sebagai pejabat.

Setelah mendengarkan keberatan Ali Wardhana, Pak Harto menjawab, “Kamu pikir saya mau jadi Presiden? Saya juga belum pernah menjadi Presiden. Kamu belum pernah menjadi Menteri Keuangan. Jadi jangan khawatir, kita belajar bersama.”

Ketika Eko Putro Sandjojo dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko memberikan tanggapan yang serupa dengan jawaban Ali Wardhana.

“Waktu itu Presiden menyuruh saya membereskan kementerian ini karena banyak disorot. Saya disuruh untuk membuat terobosan,” kenang Eko saat diremui wartawan Indonesian Leaders.

“Saya katakan ke Presiden, ‘Pak, saya ini nggak pernah jadi pejabat. Saya bukan orang desa, kok saya dijadikan Menteri Desa, Pak?’ Saya katakan itu ke Presiden.”

Jokowi menjawab, “Saya juga belum pernah jadi Presiden; saya dulu seorang pengusaha, berjiwa pengusaha.”

Presiden kemudian berkata, “Pak Menteri kan punya pengalaman 20 tahun di [perdagangan] komoditi. Desa-desa itu pada prinsipnya adalah basis semua komoditi. Kalau orang desa saya jadikan Menteri Desa, karena setiap hari sudah melihat masalah, nanti dia jadi tidak melihat masalah lagi. Nah, coba dengan [pengalaman] berbasis komoditi itu Pak Menteri keliling ke desa-desa; nanti akan punya terobosan.”

Strategi Presiden dalam memilih Menteri ini tepat, sebab menurut teori kepemimpinan yang dicetuskan Tanri Abeng, “Negara hanya sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya.”

Latar belakang Presiden Jokowi sebagai pengusaha itu bermanfaat juga dijadikan pijakan dalam memilih anakbuahnya. Sebab pengusaha berorientasi pada hasil yang akan dicapai, bukan tingkat popularitas calon pemimpin yang akan diseleksi. Jokowi mampu melihat potensi yang ada dalam diri Eko Putro Sandjojo serta pengalamannya dalam sektor perdagangan komoditi serta bidang lainnya ketika ia menjadi profesional bisnis.

Bagi Eko sendiri, terobosan yang diharapkan Presiden untuk dilakukannya membuat dia harus berkeliling ke berbagai daerah.

“Ternyata benar. Begitu saya keliling pertama kali, saya lihat problemnya adalah desa-desa tidak punya fokus. Jadi sedikit menanam cabe, sedikit menanam bawang dan sebagainya. Jadi tak ada skala ekonomi. Karena tak ada skala ekonomi maka tak ada [kegiatan ekonomi] pasca-panen. Karena tak ada itu di pasca-panen maka tak ada jaminan harga.”

Akibatnya para petani berganti-ganti komoditas. Hari ini menanam cabe, besok rugi, dia ganti komoditi dengan menanam bawang. Harga jatuh, dia pindah lagi menanam padi. Besok harga jatuh, dia ganti lagi. Jadi customer-nya juga bingung. Tadinya mau membeli cabe di desa itu, tapi petani di sana semua sudah menanam bawang dan bukan cabe lagi.

Bandingkan kondisi ini dengan ruko-ruko kecil di daerah perkotaan seperti di Tanah Abang, Jakarta. Satu ruko saja omzetnya bisa miliaran rupiah.

Menteri Eko katakan, keberpihakan Presiden pada masyarakat kelas bawah sungguh tulus and all-out.

“Dia benar-benar komit sesuai Nawacita. Negara dalam keadaan susah aja pada tahun 2015 dia tetapkan Rp20,8 triliun untuk desa; tahun berikutnya dinaikkan menjadi Rp46,96 triliun, dan tahun 2017 dinaikkan lagi menjadi Rp60 triliun. Tahun 2018 dana desa akan ditingkatkan lagi sampai menjadi Rp 120 triliun.

“Pertama kali dalam sejarah Indonesia bahwa anggaran pemerintah yang ditransfer ke daerah menjadi Rp760 triliun sementara pemerintah pusat hanya menggunakan Rp740 triliun.”

Eko menilai bahwa Presiden bekerja sepenuh hati “karena ia tak mempunyai agenda lain. Mana ada saudaranya Presiden yang terlibat bisnis atau yang memanfaatkan fasilitas negara?”

Ternyata hal ini menjadi salah satu faktor yang menyemangati para Menteri Kabinet. Melihat Presiden bekerja keras dan tulus buat keppentingan rakyat, ujar Eko, “kita jadi semangat dan kita ingin melakukan sesuatu seperti yang dilakukan Presiden.”

Mungkin ini pula sebabnya mengapa Menteri Eko komit memberdayakan 75.000 desa di Tanah Air, meskipun ia tak mau mengambil gaji dari kerja kerasnya itu. Sejak menjabat, gajinya ia kembalikan untuk digunakan sebagai dana operasional kementerian. 

Lessons Learned

Saking semangatnya Pak Menteri yang satu ini sampai perayaan 17 Agustus pun ia memilih tidak menghadirinya di Istana, tetapi merayakannya dengan penduduk di desa-desa.

Suatu ketika Eko menghadap Jokowi. “Pak Presiden, saya minta izin, boleh atau tidak? Saya tidak ikut acara kenegaraan 17 Agustus.” “Kenapa,” tanya Jokowi.

“Saya mau merayakan 17 Agustus di desa-desa, di daerah perbatasan.”

Sejenak Presiden terdiam. Menteri Desa ini bingung. Mungkin Presiden sedang marah, pikirnya.

Sesaat kemudian Presiden Jokowi berkata, “Bagus begitu. Tahun depan seluruh Menteri saya suruh merayakan 17 Agustus di daerah perbatasan.”

Kegiatan safari Menteri Desa ke berbagai daerah membuat dirinya semakin memahami akar permasalahan yang menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Sejak detik itu saya nggak ada interest lagi di kemewahan. Biasa beli mobil dan suka ngebut, sekarang nggak kepikir lagi itu. “Sudah 71 tahun kita merdeka tapi sebagian masyarakat masih miskin, anak-anak kekurangan gizi, 60% angkatan kerja kita cuma tamatan SD dan SMP.”

Ini sebabnya Eko begitu respek terhadap Jokowi bukan semata-mata karena ia pembantu Presiden, tetapi karena komitmen Presiden untuk mempercepat dan memeratakan pembangunan ke seluruh daerah, khususnya daerah perdesaan, agar negara yang semakin maju ini bisa maju secara merata dan berkeadilan.

Eko kemudian fokus membuat business model yang tepat untuk diberlakukan dengan penyesuaian di berbagai daerah perdesaan. Strateginya adalah menjalankan empat program unggulan yaitu One Village One Product, Embung Desa, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan Sarana Olahraga.

Dalam dua tahun terakhir, jumlah BUMDes meningkat tajam. Pada akhir tahun 2014, jumlah BUMDes hanya sebanyak 1.022 unit, namun tahun 2016 meningkat drastis hingga 14.686 unit.

Dari total jumlah BUMDes itu sebanyak 6.728 unit (52%) berada di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, diikuti Jawa Timur sebanyak 918 unit (7,14%) dan Jawa Tengah sebanyak 800 unit (6,22%).

Sejumlah BumDes sudah memiliki omzet antara Rp300 juta-Rp8,7 miliar, berdasarkan data kementerian ini. BUMDes yang memiliki omzet tertinggi per tahun adalah BUMDes Tirtonirmolo di Bantul dengan omzet sebesar Rp6,7 miliar dengan jenis usaha jasa simpan pinjam.

BumDes paling sukses di urutan ke-dua adalah BumDes Ponggok Klaten di bidang pariwisata, dan BumDes Gili Amerta di Kabupaten Buleleng masing-masing sebanyak Rp5,1 miliar.

Program Sarana Olahraga termasuk pembangunan lapangan bola serta fasilitas lainnya di desa-desa. Karena Eko Putro Sandjojo bukanlah Menteri Pemuda dan Olahraga, maka tujuan utama pembangunan sarana olahraga ini sebetulnya bukan untuk mencari bibit-bibit atlet dari daerah, tetapi untuk mengumpulkan crowd. Ketika banyak orang berkumpul di satu desa maka akan tercipta kegiatan ekonomi berantai dan dapat pula menjadi tujuan wisata.

Pelajaran kepemimpinan yang bisa dipetik dari cara Presiden memilih Menteri Desa adalah bahwa apabila kita mengharapkan hasil kerja yang maksimal serta terobosan-terobosan kebijakan dari seorang pemimpin, maka cara terbaik adalah memilih orang yang tepat, yaitu mereka yang keahlian dan pengalamannya bisa memberikan nilai tambah bagi lembaga yang dipimpinnya bukan sekadar memilih tokoh-tokoh yang populer namun miskin kemampuan untuk menciptakan nilai tambah.

Sebab, seperti kata Tanri Abeng, Negara hanya sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya. (Sumber: 
Majalahleaders.com)

Wonogiri Jadi Model Pembangunan Kawasan Perdesaan Terpadu

Ayo Bangun Desa - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menjadikan lima desa di Kabupaten Wonogiri sebagai model pembangunan kawasan perdesaan. Model pembangunan tersebut dimulai dengan mengembangkan peternakan sapi terpadu.
Foto: Kemendesa PDTT
“Kita ingin peternakan ini menjadi bagian penting dari ketahanan pangan dan juga energi. Kotoran padat dan cair yang dihasillkan dari sini dapat menghasilkan energi dalam bentuk gas maupun pupuk. Hal itu tentu sangat bisa menopang produksi pertanian di kawasan ini,” ujar Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT, Anwar Sanusi, saat meninjau kandang sapi di Desa Semagar, Kecamatan Girimarto, Wonogiri, Jumat (24/3).

Anwar menambahkan, perkembangan peternakan ini pun sangat menjanjikan untuk kemajuan kawasan perdesaan. Hal itu ia utarakan setelah melihat pada pengelolaan sapi yang baik. Setiap kendang di satu desa dapat mengelola lebih dari 30 ekor sapi. Berat rata-rata setiap sapi pun mencapai 600 kilogram.

“Ini adalah satu model pengelolaan keuangan dan juga usaha yang menjanjikan di tingkat desa. Peternakan ini juga sangat berpotensi untuk dapat menjawab kurangnya suplai daging di wilayah sini,” ujar Anwar.

Lima desa yang dijadikan model tersebut adalah Desa Waleng, Semagar, Bubakan, Selorejo, dan Girimarto. Stimulan yang diberikan berupa 180 Sapi Limosin/ Simental, 18 unit kandang kapasitas 10 ekor sapi, bibit rumput gajah, pakan konsentrat, serta obat-obatan.

“Dengan adanya stimulan dari Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP) ini, kami tentu berharap masyarakat dapat terus mengembangkannya untuk kesejahteraan kawasan perdesaan di Girimarto,” lanjutnya.

Sementara itu, Kepala Desa Semagar, Kastono, mengatakan, pengembangan peternakan ini sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dirinya pun mengungkapkan saat ini sedang disiapkan lahan pertanian seluas lebih dari 200 hektar untuk mendukung pengembangan produk peternakan di lima desa tersebut.

“Peternakan ini sangat berpengaruh terhadap UMKM kita. Hasil daripada limbah sapi ini akan kita gunakan untuk produksi di UMKM. Kami (lima desa) juga telah membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Bersama Lenggar Bujo Giri untuk mengelola pengolahan lanjutan dari peternakan ini ,” ujarnya.

Adanya peternakan tersebut juga menjadi bentuk pemberdayaan masyarakat. Ia berujar, masyarakat dan peternak dari desa lain bisa belajar mengenai pengolahan limbah,pemeliharaan sapi, cara membuat konsentrat, dan lainnya.

“Para pedagang bakso juga siap untuk membeli daging dari sini. Kami juga menjamin tidak ada gelonggongan disini karena sapi-sapi tersebut kita kelola secara baik dan benar dengan pendekatan peternakan modern,” tutup Kastono.(*)

Kemendesa PDTT

Jumat, 24 Maret 2017

Sebelum Diciduk Tim Saber Punggli, DPMD Sudah Ingatkan Kades

Ayo Bangun Desa - Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa telah mengimbau Kepala desa (Kades) supaya tidak menyalahgunakan kewenangan selaku pemimpin di desa.  
Kepala DPMD, Eko Suwanto, mengakui, peringatan tersebut disampaikan saat rapat bersama pengurus Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI), beberapa waktu lalu. 

"Saya minta Kades hati-hati, sekarang ada Tim Saber Pungli. Jangan melakukan perbuatan melawan hukum. Ternyata sudah ada Kades yang ditangkap," kata dia, Jumat (24/3). 

Pihaknya memiliki peran penting mengubah maindsite semua Kades. Hal tersebut akan dilakukan secara berkala ke depannya.
Bahkan, Eko meminta Kades agar mencatat secara baik terkait penggunaan Alokasi Dana Desa dan Dana Desa. 

"Jika pengeluarannya Rp1.000 ya ditulis, dimasukkan dalam catatan. Jangan lantas diabaikan karena nominalnya kecil. Sama halnya, jika biaya kepengurusan akta tanah, dll besarannya sekian, jangan meminta lebih," tegas dia. 

Pihaknya juga meminta masyarakat supaya saat mengurus surat-surat di pemerintah desa, tidak sampai menawarkan imbalan. 

"Jika sama Kades atau perangkat desa diminta imbalan, jangan dikasih. Pemerintah desa tugasnya melayani masyarakat, kalau semisal dibuat sulit atau tidak dilayani, adukan ke pemerintah daerah," harap dia.(*)

Malangvoice.com

Rabu, 22 Maret 2017

Tak Terbukti Korupsi Dana Desa, Hakim Bebaskan Mantan Bendahara dan Sekdes

Ayo Bangun Desa - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh memvonis bebas dua terdakwa kasus dugaan korupsi dana Gampong Luengbata, Banda Aceh, yang bersumber dari Pendapatan Asli Gampong (PAG) tahun 2012-2014 dengan kerugian Rp 150.956.450. Kedua terdakwa adalah Darwin selaku sekretaris dan Edward selaku bendahara Gampong Luengbata saat itu.
Tak Terbukti Korupsi Dana Desa, Hakim Bebaskan Mantan Bendahara dan Sekdes
Dana Desa untuk Desa Membangun/Ilustrasi
“Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu primer, kesatu subsider, dan dakwaan kedua. Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan penuntut umum,” baca ketua majelis hakim, Eti Astuti SH MH dalam sidang pamungkas di Pengadilan Tipikor Banda Aceh, Senin (20/3) di hadapan kuasa hukum terdakwa, Jalaluddin Moebin SH dan Najmuddin SH serta jaksa dari Kejari Banda Aceh.


Majelis hakim juga memerintahkan agar kedua terdakwa dibebaskan dari tahanan setelah putusan itu diucapkan. Karena, selama proses persidangan, kedua terdakwa ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Banda Aceh yang berada di Gampong Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Selain itu, hakim juga memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukam, harkat, serta martabatnya.

Putusan tersebut berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Banda Aceh selama 4,6 tahun penjara. Namun berdasarkan keterangan saksi dan barang bukti, hakim berpendapat bahwa kedua terdakwa tidak ikut terlibat melakukan korupsi dana Gampong Luengbata, Banda Aceh, yang bersumber dari PAG tahun 2012-2014 dengan kerugian Rp 150.956.450 dari total Rp 1.075.840.412.


Sebelumnya kasus tersebut juga menyeret mantan Keuchik Luengbata, Syarifuddin. Dalam perkara itu, Syarifuddin terbukti melakukan korupsi dana desa dengan mempergunakannya untuk kepentingan sendiri dan divonis selama 1,5 tahun penjara. Saat ini, Syarifuddin sudah ditahan di Rutan Banda Aceh.
Terkait putusan tersebut, JPU menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari apakah menerima atau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).


Sementara kedua terdakwa bersama kuasa hukumnya menyatakan menerima. “Kami menilai putusan hakim sudah sesuai dan sangat adil, karena memang klien kami tidak bersalah,” kata Jalaluddin yang diaminkan Najmuddin.[]

Aceh.tribunnews.com

Alokasi Dana Desa di Abdya Terancam Tersendat

Ayo Bangun Desa - Alokasi dana desa tahun anggaran 2017 di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Provinsi Aceh, terancam tersendat, karena 123 desa hingga kini belum menyampaikan laporan pertanggungjawaban tahap III tahun 2016.
Alokasi dana desa tahun anggaran 2017 di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Provinsi Aceh, terancam tersendat, karena 123 desa hingga kini belum menyampaikan laporan pertanggungjawaban tahap III tahun 2016.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Pengendalian Penduduk dan Pemberdayaan Perempuan (DMP4) Kabupaten Abdya, Ruslan Adli di Blangpidie, Rabu mengatakan, jumlah keseluruhan penerima alokasi dana desa (ADD) tahun 2016 sebanyak 132 desa.


Dari jumlah tersebut, lanjutnya, baru 9 desa yang telah menyerahkan laporan pertanggunjawaban (LPJ), baik dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun dari Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK).

"Selain dana desa dari APBN, Pemkab Abdya ada juga menyalurkan dana desa sumber APBK. Jadi, jika dalam waktu dekat ini pihak desa belum menyerahkan LPJ, maka ADD tahap pertama tahun ini bakal tersendat," ujar dia.

Ruslan mengatakan, pemerintah daerah tidak diperbolehkan mentransfer dana desa ke gampong-gampong (desa) yang belum menyerahkan laporan pertanggungjawaban ADD tahap III tahun 2016.

Kata dia, 9 desa yang telah menyerahkan LPJ ADD tahap III tahun lalu tersebut, enam di antarannya dari Kecamatan Manggeng, yakni Desa Seunelop, Desa Ladang Panah, Desa Panton Makmur, Desa Sejahtera dan Desa Keude Manggeng.

Kemudian Desa Padang Bak Jok dan Desa Ie Lhob dari Kecamatan Tangan-Tangan, Desa Padang Baro, Kecamatan Susoh dan Desa Kuta Jumpa, Kecamatan Jeumpa.

Sementara desa-desa yang berada di Kecamatan Lembah Sabil, Kecamatan Blangpidie, Kecamatan Babahrot, Kecamatan Kuala Batee dan Kecamatan Setia, hingga saat ini satupun belum menyerahkan LPJ ADD.

"Jika LPJ itu belum diserahkan, ADD tahun 2017 tidak bisa ditransfer ke desa-desa. Jadi, kita imbau semua desa untuk segera mungkin menyampaikan LPJ tersebut supaya penyaluran dana desa tahun ini tidak menjadi terhambat," demikian Ruslan Adli.[]

Antaranews.com

Batas Desa, Kewenangan, dan Paradigma Baru Pemberdayaan

Mendiskusi kewenangan desa masih menjadi isu menarik terlebih ditingkat regulasi masih menyisakan beberapa permasalahan dan perbedaan cara pandang terhadap UU Desa, terutama Permendagri No 1 Tahun 2016 tentang Penataan Desa yang dipandang telah menafikan prakarsa desa dalam penataan desa, serta beberapa permasalahan di tingkat daerah, masih minimnya daerah melakukan penataan kewenangan desa melalui peraturan kepala daerah. Persoalan tersebut semoga menjadi sebuah dinamika yang menjadi pembelajaran untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam implementasi UU Desa.
Penyusunan Peta Partisipatif/Foto: Pendampingdesa.or.id 
Hal menarik terkait kewenangan desa adalah terkait batas wilayah, sebagai dasar menata-kelola ruangan penguasaan dalam menjalankan serta menegakan kewenangan desa, yang berimplikasi kepada model pembangunan dan pemberdayaan di Desa.

Desa menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 di definisikan yaitu Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, jelas bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan pemerintahan adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.

Dari defini Desa tersebut saya hanya ingin menggaris bawahi tentang batas wilayah dan kewenangan desa, kewenangan tanpa adanya batas wilayah adalah absurd. Adanya kepastian dan penegasan batas wilayah dan kewenangan desa menjadi faktor penentu dalam proses pembangunan dan pemberdayaan di Desa. Tentang kewenangan saya tidak mengupas lebih dalam karena Amanat UU Desa sudah jelas, tinggal bagaimana melanjutkan pada tingkat regulasi dan implementasi disetiap level.

Batas wilayah adalah persoalan yang sangat pelik sampai saat ini, bukan saja di dalam satu desa dan antar desa, tetapi dengan wilayah kawasan hutan, perkebunan, pertambangan, dll baik dikuasai oleh Negara maupun Swasta/Private. Persoalan yang muncul ditingkat masyarakat maupun kasasi sangat begitu komplek, dan senantiasa melahirkan permaslahan-permasalahan baru hingga saat ini belum mampu diselesaikan, dan hal tersebut menjadi konsern aktivis KPA dan jejaringnya untuk melakukan mediasi dan advokasi terhadap berbagai permaslahan yang seringkali muncul tidak saja oleh masyarakat, tetapi pelanggaran oleh aparat negara, hingga menimbulkan konflik horizontal dan vertikal, persoalan keamanan masyarakat, pelanggaran HAM, dll. Sehingga persoalan agraria bukan sekedar rebutan lahan, tetapi sejatinya adalah persoalan politik dan kedaulatan rakyat, bahkan kedaulatan Negara.

Desa selama ini mengenal batas wilayahnya sebagai batas administratif dari suatu wilayah daratan dan perairan yang ada di wilayah Desa dan Kecamatan, yang dikelola oleh Pemerintah Daerah di dalam batas wilayahnya masing-masing berdasar kewenangannya. Penetapan dan penegasan batas desa merupakan cilkal bakal bagi penetapan dan penegasan batas wilayah yang diperlukan untuk proses pengambilan keputusan pembangunan dan kebijakan-kebijakan lainnya.

Penegasan batas wilayah dilakukan dengan cara pemetaan yang dituangkan dalam bentuk peta desa adalah sebagai implementasi Undang Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Penegasan dan Penetapan Batas Desa menjadi strategis baik untuk kepentingan Desa, Pemerintah Daerah dan Pusat. Bagi Desa batas wilayah desa menjadi sangat penting dalam menerapkan pembangunan desa berbasis asset desa, batas wilayah desa menentukan seberapa penguasaan dan kepemilikan asset sebagai modal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Batas wilayah desa hanya bisa dilakukan dengan pemetaan dengan berbagai metode dengan melibatkan masyarakat, sehingga melahirkan peta partisipatif yang selanjutnya bisa dijadikan peta definitif oleh pemerintah daerah, dengan mengakui peta partisipatif sebagai peta indikatif, peta dasar untuk selanjutnya disempurnakan sesuai dengan kaidah pemetaan oleh pemerintah pusat dan daerah yang berperan sebagai walidata dalam pengelolaan peta dan data.

Seiring dengan Kebijakan Satu Peta yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Sudah seharusnya seluruh pemangku kepentingan pembangunan khususmya Desa, dapat memahami kebijakan ini sebagai momentum bagi desa untuk melakukan pemetaan partisipatif karena kebijakan ini memberikan peluang adanya pengakuan (rekognisi) dan adopsi data spasial partisipatif, yang bermanfaat bagi pemerintah dalam membantu menyelesaikan berbagai persoalan konflik atas lahan dan ruang dalam wilayah Desa maupun kawasan perdesaan, sehingga sesuai amanat UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal 81 ayat 2 menegakan bahwa Pembangunan Kawasan Perdesaan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Selanjutnya pada pasal 84 ayat 1, Pembangunan kawasan perdesaan oleh Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak ketiga yang terkait pemanfaatan asset desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintahan Desa. Dalam hal penetapan batas desa pada pasal 8 ayat 3 poin f, disebutkan bahwa batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa, ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota. Inilah hal regulasi strategis yang semakin membuka ruang bagi desa untuk mengambil bagian dan memiliki prakarsa dalam proses mengaktualisasikan Desa dalam kancah pembangunan daerah maupun Nasional.

UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Ketentuan Umum Pasal 1 mendefinisikan 2 konsepsi, yaitu: Pembangunan Desa dan Pemberdayaan desa. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 8) dan Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 12).

Menurut Bito Wikantosa, Subdit Perencanaan dan Pembangunan Partisipatif Kementerian Desa, PDTT, pada Seminar Nasional Kebijakan Satu Peta yang diselenggarakan JKPP di Bogor menegaskan bahwa dalam kontek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, batas desa ataupun peta desa yang dilakukan secara partisipatif dapat membangun kesadaran kolektif di Desa, sekaligus mendorong perubahan kerangka pemberdayaan masyarakat desa serta membangun paradigma baru pembangunan desa yang selama ini cenderung bersifat “belanja anggaran” yang sekedar mengakomodir keinginan kelompok bahkan elite desa dalam memanfaatkan anggaran desa, tetapi melalui Kebijakan Satu Peta dengan pengakuan pemetaan partisipatif di Desa dapat mengarahkan penggunaan anggaran desa untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki sebagai asset desa untuk membangun kesejahteraan masyarakat desa.

Cara pandang saat ini bahwa dalam proses perencanaan pembangunan desa senantiasa menitikberatkan pada pendekatan masalah dalam merumuskan program dan kegiatan pada prioritas pembangunan desa, sehingga tidak heran cara pandang “belanja anggaran” menjadi paradigma yang dianut melekat selama ini. Hal tersebut dapat kita cermati dalam dokumen perencanaan desa baik RPJMDesa maupun RKPdesa yang belum menunjukan optimalisasi penggunaan potensi Desa, hal tersebut ditenggarai model fasilitasi dalam proses musyawarah pembangunan desa masih mengedepankan pembahasan yang bersifat usulan masalah, keluhan, keinginan kelompok mayarakat bahkan elite bukan lagi telaah terhadap kondisi realitas desa secara utuh untuk membangun kemakmuran desa.

Dana Desa sebagai bentuk Cash Transfer Negara seyogyanya dipandang sebagai instrumen yang mampu menjembatani masyarakat desa dalam mengoptimalkan pengelolaan atas asset yang dimiliki. Menurut Borni Kurniawan, dalam Buku Pengelolaan Asset Desa, setidaknya ada lima jenis asset desa yang saling komplementer dalam rangka membangun kesejahteraan masyarakat desa yaitu, 1. Sumber daya alam, 2. Sumber daya keuangan, (termasuk dana desa), 3. Modal Fisik berupa infrastruktur yang sudah ada, 4. Modal Sosial berupa nilai-nilaimkehidupan masyarakat (gotong royong,dll) dan 5. Sumber daya manusia, berupa kader-kader desa, pengusaha desa, dll.

Pemetaan di Desa mampu mengidentifikasi seluruh potensi asset sebagaimana disebut diatas, hanya bagaimana proses pemetaan ini dilakukan dalam ruang wilayah desa, dengan kepastian tata batas sebagai ruang kekuasaan desa dalam mengelola assetnya. Perlu adanya pengakuan atas kerja-kerja partisipastif yang dilakukan masyarakat dan perlunya sinkronisasi oleh pemerintah daerah dalam menentukan pelbagai tata batas desa, untuk memberikan kepastian hukum, serta koordinasi berbagai pihak sehingga tidak menimbulkan permasalahan pada saat proses pembangunan desa berlangsung. Pemetaan Desa partisipastif perlu political will pemerintah, sehingga baik pemerintah pusat dan daerah seyogyanya memberikan panduan sehingga pemetaan dilakukan dengan kaidah yang benar.

Peta partisipatif sesungguhnya pemosisian masyarakat desa dalam pembangunan nasional, batas desa di wilayah masyarakat adat lebih mudah karena batas teritorial secara geneolog masih hidup, sehingga untuk penataan desa adat lebih mudah karena salah satu syarat penataan desa adat adalah batas desa. Pada basis desa pada umumnya penanda batas tradisional sudah hilang, sehingga mengacu pada batas desa berdasarkan atas peta administrasi yang ditetapkan supra desa.

Peta desa partisipatif harus mampu mendorong deklarasi kewenangan desa dan batas desa, hal tersebut perlu mendapat dukungan berbagai pihak, sehingga adanya jaminan atas kedaulatan dalam mengelola dan memanfaatkan asset Desa. Kebijakan Satu Peta, Satu Perencanaan dan Satu Anggaran menjadikan perencanaan desa berbasis data tunggal untuk pembangunan desa berbasis asset serta memperkuat konsolidasi anggaran melalui dana transfer ke desa. Dengan demikian Peran Pendamping Desa dan Tenaga Ahli P3MD yang ditugaskan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, sudah saatnya bergerak tidak pada wilayah kerja-kerja teknokratik dan administratif yang bersifat keproyekan, tetapi memperkuat Desa melalui penguatan basis data tunggal sebagai basis perencanaan desa, serta mendorong “Deklarasi Batas Desa dan Kewenangan Desa” untuk menjamin kepastian asset Desa dalam pembangunan desa berkelanjutan.[]